Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 7

Shara menatap rumahnya yang sepi setelah beberapa hari ada Adam yang selalu menemaninya. Kini ia duduk di sofa dan mengingat bagaimana tadi Adam pamit pulang kepadanya yang hanya lewat sambungan telepon.

"Bi, gue pulang ya?"

"Iya," jawab Shara singkat karena matanya masih fokus menatap biaya-biaya yang perlu ia jurnal.

"Lo bisa kan sendiri tanpa harus gue temenin?"

"Bisa."

Beberapa saat Shara diam karena ia sedang fokus menatap nominal-nominal biaya ATK perusahaan bulan ini.

"Bi?" Panggil Adam lagi setelah beberapa saat.

"Hmm?"

"Gue sayang sama Lo, jadi please kalo Lo merasa dunia nggak adil, nggak ada orang yang anggap Lo berharga, jangan sampai Lo nangis ya, karena bagi gue lo berharga banget. Lihat Lo kaya kemarin rasanya gue nggak akan bisa."

Shara menghentikan aktivitasnya dan kini ia memilih diam setelah mendengarkan apa yang Adam katakan.

"Iya. Makasih, Nyet."

"Okay, gue pamit dulu, ya? Nanti Lo cek ke kamar gue siapa tau ada yang ketinggalan."

"Iya."

Setelah mengingat jika Adam memintanya untuk mengecek kamar, segera Shara beranjak menuju ke kamar tamu yang ada di lantai satu rumahnya.

Ceklek.....

Saat Shara membuka pintu itu, tampak ruangan itu sudah bersih, tidak seperti ketika Adam gunakan. Di tengah kasur ia menemukan sebuah boneka monyet. Yang diposisikan duduk dan sebelah tangannya sedang berkacak pinggang. Shara tersenyum melihat itu.

Gambar hanya Ilustrasi. Sumber : pinterest 

"Makasih, Nyet," kata Shara kemudian ia mendekati boneka itu dan mengambilnya.

"Pantes aja Lo gue kasih nama Monyet, memang mirip sih muka Lo, Nyet."

Tanpa mengulur waktu, segera Shara menghubungi Adam.  Shara terus menunggu hingga akhirnya pada deringan ke empat telepon itu diangkat namun bukan oleh Adam.

"Awoo," sebuah suara imut dan lucu bisa Shara dengar.

"Hallo, Pakdhe Adam ada?" Tanya Shara dengan ramah.

Tanpa menjawab pertanyaan Shara bocah itu sudah berteriak.

"Nyett....!!!"

"Onyettt.....!!!"

Shara yang mendengar teriakan itu sudah tertawa terbahak bahak, bahkan ia sampai menjatuhkan dirinya di atas ranjang.

"Pakdhe, bukan Nyet, ya Edel?"

Bukannya berhenti tertawa, yang ada Shara semakin terbahak-bahak.

"Hallo?" Sapa Adam namun yang ia dengar justru tawa renyah Shara yang membuat hatinya hangat.

"Bi?" Panggil Adam santai namun Shara baru menjawab saat tawanya reda.

"Iya," jawab Shara di sela-sela tawanya.

"Percaya nggak apa yang gue bilang? Ini semua salah Lo!"

"Kok gue?"

"Terus siapa? Lo yang kasih nama seenak jidat, sampai emaknya Edel manggil gue monyet, eh sekarang anaknya ikutan."

"Tapi beneran sih mirip sama kamu, apalagi miniatur yang kamu kasih di atas ranjang ini. Persis banget sama muka kamu. Makasih ya?"

"Nista banget gue kayanya kalo sama Lo."

Shara mendengus, lalu ia memutar kedua bola matanya. "Lo kira gue nggak nista? Lo panggil gue Babi!"

"Babi itu lucu, imut dan pastinya mirip sama Lo. Apalagi kalo Lo lagi tidur. Beuh... Suara ngorok Lo mirip sama Babi."

"Monyettt!"

"Babi!"

"Sudah gue tutup. Bye."

"Bye," jawab Adam santai. Kini setelah menutup telepon Shara, ia harus bersiap siap untuk pergi menemui anak teman Mamanya.

Lebih baik datang ke acara blind date daripada ia harus mendapatkan cap sebagai anak durhaka.

"Ma, Mama...," Teriak Adam dari dalam kamarnya.

Gendis yang baru saja memakaikan baju Galen harus berjalan cepat menuju kamar sang anak.

"Apaan sih kamu teriak-teriak. Kamu kira ini di hutan?"

"Ma, si Edel pup itu di diapers. Bau banget."

"Dari mana kamu tau?"

"Dia sembunyi-sembunyi gitu di balik gorden."

"Ya sudah, kamu bersihkan. Kenapa juga harus panggil-panggil Mama. Buruan sana bersihin."

Mampus....pikir Adam. Ia rela menggantikan baju, celana menyusuri bahkan mengajak main, tapi membersihkan pup, lain perkara.

"Ta, tapi, Ma?"

"Apa lagi?"

"Mbak Sri aja deh, Ma. Aku mau berangkat."

"No. Bersihkan dulu, sekarang! Hitung-hitung latihan sebelum kamu punya anak."

Akhirnya Adam hanya bisa pasrah dan segera mendekati Edel. Seperti biasa Edel sudah berlari tidak mau di ajak ke toilet. Ingin rasanya Adam menyumpahi Nada yang bisa membuat anaknya takut untuk pergi ke kamar mandi hanya karena pernah terpeleset. Sungguh, saat itu Adam marah bukan main kepada Juna dan Nada.

"Edel, ayo kita ke kamar mandi? Sekalian main air?" Bujuk Adam dengan halus, namun sang keponakan terpa memilih main kucing-kucingan hingga masuk ke kolong tempat tidur. Mau tidak mau Adam harus menarik kedua kaki Edel pelan-pelan agar keluar dari sana.

"Nyeettt....," Teriak Edel.

"Pakdhe, bukan Nyet...!"

"Pakdhe...," Kata Edel masih sedikit menolak ajakan Adam, namun tidak ia gubris.

Kini Adam memilih menggendong Edel ke kamar mandi dan membersihkan pupnya. Dalam hati ia menggerutu. Apakah harus sampai sebegininya ia membantu merawat sang keponakan? Andai mertua Nada sedang ada di Jogja, tentu saja Adam tidak mungkin diberikan pekerjaan seperti ini. Mau menyalahkan sang adik, namun tidak bisa juga karena orangtua Juna yang meminta Nada menyudahi kontrak kerja baby sitter dan memilih memasukkan anak ke Daycare. Sayangnya mereka hanya sampai siang di sana. Sehingga sore hari seperti ini ketika Mamanya belum pulang, mereka selalu "travelling" dari rumah Oma Opanya, atau kadang ke rumah Eyangnya.

Selesai membersihkan pup Edel, tiba-tiba sebuah ide muncul di kepala Adam. Agar ia tidak mati kutu hanya karena kekurangan obrolan, maka ia akan mengajak Edel untuk pergi bersama menemui pasangan blind date-nya.

"Edel mau ikut Pakdhe nggak?"

Edel hanya menganggukkan kepalanya dan Adam langsung memeluk sang keponakan sebentar dan menghujani Edel dengan ciuman. Kini setelah ia selesai melakukan itu semua, segera Adam bangkit berdiri dan menggandeng tangan Edel untuk keluar dari kamarnya. Pelan-pelan Adam mengajak Edel menuruni tangga dan ia segera menuju ke kamar Edel dan Galen yang ada di lantai satu. Saat memasuki kamar, segera Adam mencari baju ganti untuk Edel setelah itu mengganti pakaian Edel dengan yang baru. Merasa puas setelah mendandani Edel, Adam mengajak Edel untuk menuju ke garasi.

"Mbak Sri, Mbak Sri," panggil Adam kepada pekerja rumah tangganya.

"Nggih, Mas, pripun?"

"Mama mana?"

"Lagi keluar sama Galen, Mas."

"Kemana?"

"Ke minimarket depan kayanya, soalnya Galen minta jajan es krim."

"Oh, ya sudah, Mbak. Tolong bilangin sama Mama kalo Edel aku ajak keluar ya?"

"Nggih, Mas."

Segera setelah berpamitan kepada Sri, Adam mencari kunci motor Vespa Primavera 1981 warna biru miliknya. Kini setelah ia memasangkan helm hello Kitty milik Edel, Adam segera melajukan motornya menuju salah satu mall yang ada di kota Jogja. Ia yakin sang Mama akan marah ketika mengetahui dirinya mengajak Edel, namun menurut Adam, tidak ada salahnya dirinya mengajak Edel, toh jika benar wanita itu bisa menerimanya apa adanya seharusnya ia juga bisa menerima keponakannya dengan tangan terbuka.

Pukul enam sore, Adam sudah berada di mall bersama Edel. Ia menuntun Edel menuju ke salah satu restoran tempat janjiannya dengan Alya. Saat dirinya tiba di depan restoran, segera Adam menghubungi Alya. Ternyata Alya sudah sampai di sana. Segera Adam menuntun Edel ke dalam.

"Permisi, Alya, ya?" Tanya Adam ketika melihat Alya yang benar-benar sosok bak influencer muda ini. Muda, modis, cantik dan tentunya memiliki kepercayaan diri yang bagus.

"Iya, Mas Adam ya?" Tanya Alya ramah sambil tersenyum dan berdiri dari kursi.

"Bukan. Nyet namanya," kata Edel yang masih dalam gandengan Adam.

Adam hanya bisa nyengir di sebelah Edel.

"Sorry, ponakan gue emang suka bercanda."

Alya hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Kini mereka duduk bersama, namun sepertinya misi Adam cukup berhasil karena dengan adanya Edel, tidak mungkin ia akan betah di ajak berlama lama duduk hanya untuk sekedar ngobrol ngalor ngidul ngetan ngulon.

"Edel mau kemana?" Tanya Adam santai.

"Main."

"Main apa?"

"Alun-alun," jawab Edel singkat yang membuat Adam merasa menang karena akhirnya ia bisa bebas dari acara blind date ini.

Akhirnya Adam mencoba untuk meminta ijin pulang lebih dulu dari Alya, namun Alya sepertinya belum ingin membuatnya bebas. Kini ia memilih untuk mengintili Adam.

"Lo serius mau ikut gue sama Edel?" Tanya Adam ketika mereka bertiga mulai jalan di parkiran.

"Iya. Emang kenapa?"

"Yakin?" Tanya Adam memastikan.

"Iya. Lagian lama juga nggak main ke alun-alun."

"Oh, okay. Gue nggak masalah," jawab Adam sambil terus berjalan menuju ke parkiran.

Alya mulai terlihat panik ketika Adam tidak berhenti di parkiran mobil.

"Sorry, Mas. Mobil Lo dimana?"

"Mobil?"

"Iya. Kata Mama Lo naik Lamborghini?"

"Lamborghini? Siapa bilang orang gue punyanya Vespa Primavera tua ini."

Sumpah, Adam berusaha menahan tawanya ketika melihat wajah Alya yang terlihat shock dan sepertinya andai bisa ia memilih ngacir.

"Berarti Mama bohong dong?"

"Bohong kenapa?" Tanya Adam sok berlagak pilon.

"Kata Mama, Lo ini sudah mapan ternyata masih kaya gini."

Adam tau jika ia berbohong maka dosanya akan semakin bertambah, namun dirinya tidak bisa untuk terus bersama dengan wanita yang hanya mengincar apa yang ia miliki.

"Al?" Panggil Adam pelan.

"Ya?"

"Mungkin ini adalah pertemuan pertama dan terakhir kita, karena gue bukan orang yang sesuai dengan kriteria lo, begitupula Lo yang jauh dari kriteria gue."

"Iya kayanya, gue rasa mending gue pertahanin pacar gue. Karena dia kayanya lebih mapan dari Lo."

"Iya. Bye, Alya."

"Bye, Mas," jawab Alya santai lalu Adam berlalu begitu saja dari hadapan Alya.

Adam masih menahan tawanya hingga akhirnya ia bisa keluar dari parkiran mall. Edel yang berdiri di depan Adam hanya bisa menoleh ketika melihat sang Pakdhe yang tertawa bahagia.

"Edel, makasih ya, sudah bantuin pakdhe malam ini."

Edel memilih diam karena matanya mulai ngantuk. Bahkan ketika sampai di lampu merah dekat rumah orangtuanya, Edel telah tertidur yang membuat Adam harus menjaganya dengan kedua kakinya.

"Parah deh, ah kalo begini ceritanya," kata Adam ketika ia sudah berhasil berhenti di depan pagar rumah orangtuanya.

Akhirnya ia mengangkat Edel. Vespa yang ia naiki sudah ia serahkan ke satpam.

"Ya Allah, Mas. Mbak Nada muring-muring anak e di bawa njenegan*." (*Mbak Nada marah-marah anaknya kamu bawa.)

"Ah, bodo amat sama si Nada. gue titip motor ya?"

"Iya-iya, beres."

Di dalam rumah, Nada masih terus menghubungi Ada. Sejak tiba di rumah sang Mama hampir dua jam yang lalu, ia terus mencoba menghubungi Adam yang handphonenya tidak aktif.

"Ma, monyet kemana sih?"

"Ketemu sama Alya."

"Ya tapi kenapa harus bawa Edel segala? Ini si Juna sudah sampai di rumah aku belum sempat masak buat dia juga."

"Juna suruh delivery order saja. Hidup jaman sekarang itu sudah praktis dan mudah, kenapa harus di persulit," jawab sang Mama sambil membuka buka majalah fashion terbaru.

Mendengar jawaban sang Mama, Nada hanya bisa memutar kedua bola matanya. Semodern apapun kehidupan jaman sekarang, bagi Nada, memasak, menyiapkan makan, pakaian bahkan membuatkan minuman untuk sang suami adalah sebuah bentuk pengabdian dirinya sebagai seorang istri, walaupun sang suami tidak pernah menuntut.

"Assalamualaikum," sapa Adam sambil memasuki rumah dengan Edel yang tertidur dalam gendongannya.

"Waalaikum salam," jawab Nada dan sang Mama bersamaan.

"Nyet! Anak gue langsung taruh di mobil aja. Lo bener-bener ya?"

Adam hanya nyengir ketika mendengar omelan sang adik.

"Lo harusnya bilang makasih karena cowok sesibuk gue ini masih mau baby-sitting anak Lo, mana gratis pula nggak ada bayarannya."

Nada memilih diam dan segera menggendong Galen yang sudah tertidur di sofa dekat sang Mama. Melihat Nada yang mulai menggendong Galen, Gendis berinisiatif membawakan tas Hermes Birkin hitam milik sang anak dan segera berjalan lebih dulu untuk menghidupkan mesin mobil beserta AC. Sepanjang perjalanan menuju ke halaman depan rumah orangtuanya yang luas, Nada menatap Adam dalam diam.

"Nyet?"

"Hmm?"

"Lo pasti jadiin Edel tameng biar si Alya mundur ya?"

"Ya kurang lebih begitu. Tapi gue bersyukur aja, tadi gue cuma bawa Vespa dan dia memilih mundur. Gue nggak sesuai kriteria dia."

Nada menghela nafasnya. "Gila ya perempuan jaman sekarang, lihat laki-laki cuma dari apa yang kelihatan di mata doang. Coba dia jadi gue dulu, apa nggak sakit hati ya."

"Emang Lo diapain sama Junaidi di pertemuan pertama."

Nada menghela nafasnya dan kini ia mengingat pertemuannya dengan sang suami 5 tahun yang lalu. Semua itu jauh sesuatu yang manja apalagi romantis.

"Pertama kali gue ketemu sama Junaidi dia ngatain gue thropy wife. Terus dia sudah bilang kalo gue nggak bisa ikuti gaya hidup dia."

Adam membelalakkan matanya mendengar perkataan Nada. Selama ini Nada tidak pernah bercerita kepadanya tentang ini semua. Andai Nada bercerita kepadanya sejak dulu, tentu saja ia tidak akan segan-segan menghajar Juna.

"Nada buruan," kata sang Mama yang sudah menunggu di dekat Range Rover hitam.

Saat telah ada di dekat mobil, Adam segera menempatkan Edel di car seat, begitupula Nada yang menempatkan Galen. Setelah kedua anaknya berada di dalam mobil, segera Nada berpamitan kepada sang Mama dan kakaknya. 

Kini saat mobil Nada sudah meninggalkan halaman rumah orangtuanya, Adam hanya bisa melihat jalan yang kosong di depan rumah orangtuanya. Entah bagaimanapun hari esok, satu hal yang sudah Adam pastikan di hidupnya, bahwa ia tidak akan menikahi wanita yang hanya melihat dirinya dari apa yang ia miliki. Sekuat apapun sang Mama akan menjodohkannya dengan wanita, ia akan terus mencoba menggagalkannya apapun caranya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel