11. Mature is to Suffer
Dengan senyum mengembang dibalik kemudi, John berniat menjemput Jane untuk sesi pemotretan proyek besar yang telah ia terima. Ia hanya percaya pada gadis itu karena Jane adalah gadis pekerja keras, bertanggung jawab dan sangat profesional. John berpikir, Jane pasti akan senang mendengar kabar ini. Tak sabar untuk segera bertemu gadis itu memyampaikan kabar bahagia ini.
John memakirkan mobilnya, memasuki gedung dan menuju lift. Sambil memutar-mutar kunci dengan raut wajah bahagia lelaki itu terus bersiul ria, tak lama pintu lift terbuka.
John mengernyit, ruangan tampak sepi dan tak ada suara apapun. Ia menaruh kunci mobil diatas nakas dan berkeliling...
"Jane!" setengah berteriak John mencari hingga kesudut ruangan hingga dapur.
"Rose!" bahkan hanya tetesan air yang terdengar didapur itu.
John segera melangkahkan kakinya kekamar Jane, membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Dahinya berkerut heran, tak mendapati Jane dimanapun dan yang terpenting, mengapa Jane meninggalkan tas kopernya yang masih berisi barang-barang gadis itu.
Apa Jane sedang pergi keluar?
Batinnya, tapi lagi-lagi John dibuat terkejut melihat ponsel milik Jane yang berada diatas ranjang. Ia mengambil ponsel itu, menekan layarnya berusaha memastikan gadis itu baik-baik saja.
"tak biasanya Jane meninggalkan ponselnya" ucap John pada dirinya sendiri.
Memang suatu hal yang lancang jika seorang teman membuka barang pribadi, namun John harus memastikan gadis itu dalam keadaan baik karena Jane sekarang menjadi tanggung jawabnya setelah gadis itu bernaung dikediamannya.
"Andrea?" ucap John ketika melihat beberapa pesan Andrea kepada Jane, seingat John Andrea adalah sepupunya yang tak lain adalah anak dari pamannya itu.
John yang sangat menginginkan jawaban akhirnya memutuskan untuk menelpon Andrea, ia menekan nomer Andrea lalu mendekatkan ponsel tersebut ketelinganya.
"halo, Jane? Kau dimana? Apa kau baik-baik saja?"
John hampir dibuat pusing dengan seberondong pertanyaan yang ia dengar dari suara gadis yang terdengar sangat manis itu.
"ah, maaf. Ini aku John, teman sekaligus rekan kerja Jane" ucapnya formal, John mendengar suara helaan nafas dari seberang telpon.
"apa yang terjadi? Dimana Jane?"
"semalam dia kemari, tapi saat ini dia sudah tidak ada. Hanya barang-barangnya yang tertinggal bahkan ponselnya pun ditinggal" ujar John menjelaskan.
"bagaimana mungkin dia bisa tidak ada?" tanya Andrea khawatir.
"maafkan aku, aku sedang keluar sebentar. Lalu saat aku kembali, dia sudah tidak ada" ucapnya lagi, John mendudukan diri diatas ranjang. Tak ada sahutan dari seberang telpon, John begitu yakin sepupu Jane itu sangat menghawatirkan gadis itu.
"sebenarnya apa yang terjadi Andrea?" tanya John yang akhirnya memecah keheningan diantara mereka berdua setelah beberapa saat.
"dia sedang bermasalah dengan ayahku" ucap Andrea.
John mengangguk mengerti, ia tidak ingin mencampuri urusan Jane lebih jauh lagi. Ia hanya sekedar membantu, apapun yang gadis itu putuskan John akan menerimanya.
"ahh, John! Aku telah menerima pesan, Jane sudah pulang kerumah Ayahku. Kau tidak perlu khawatir sekarang"
"benarkah? Syukurlah, kalau begitu aku akan mengantar barang-barang Jane sekarang-"
"JANGAN!"
Gendang telinga John hampir saja pecah mendengar teriakan gadis itu, ia menjauhkan beberapa senti ponsel yang ada ditelinganya seraya mengelus telinganya sendiri.
"mengapa?" tanya John kembali.
"ah, pokoknya jangan saja. Baiklah John, sampai jumpa!"
Tut...
Tut....
John mengernyit, tiba-tiba saja sambungan telpon mati setelah Andrea berpamitan secara singkat. Ia kemudian melirik kearah koper, Jane pasti akan membutuhkan barang-barangnya.
Dia berniat kerumah pamannya untuk sekedar mengembalikan barang-barang gadis itu sekaligus memberi kabar bahagia yang pastinya akan menunjang karirnya.
John beranjak kearah koper, menaikan resletingnya dan menutupnya dengan rapat. Kemudian menyeret koper itu keluar menuju kediaman paman Jane...
***
"no Uncle!!!" Jane terus meraung keras, tak berhenti menangis saat pria itu menyeret tubuhnya meninggalkan penthouse milik John.
Sementara Arthur, dengan wajah datarnya yang memancarkan kemarahan. Terus membopong Jane layaknya karung beras, ia bahkan tak perduli dengan ponselnya yang terus berdering disakunya. Jelas sudah jika gadis itu berniat untuk meninggalkannya, dan Arthur tidak akan membiarkan itu terjadi.
Sejengkalpun, Jane tidak akan bisa pergi darinya....
"Uncle, kumohon!" Jane terus merintih, saat mereka tengah sampai dikamar pribadi Arthur. Pria itu memasangkan sebuah borgol ditangan Jane dan mengaitkannya dikepala ranjang yang terbuat dari besi, tanpa menghiraukan permohonan Jane yang terus menangis.
Jane sama sekali tidak melawan, keberaniannya pupus sudah ketika melihat pamannya itu dengan wajah memerahnya.
"kau lebih memilih pria berkulit bayi itu dari pada aku" cecar Arthur sambil memakaikan borgol.
"no Uncle, dia hanya teman.. Dia adalah-"
"ya, ya.. Aku tahu, produser muda tempatmu bekerja. Kulit putih pucatnya bahkan membuatku jijik" desis Arthur, dadanya bergemuruh seiring emosinya yang meluap.
Jika gadis itu terus mencoba untuk kabur, maka tidak ada pilihan lain selain mengurung gadis itu, selamanya...
Tok...
Tok...
Bunyi ketukan pintu dari arah luar menghentikan aksinya, Arthur melirik Jane sekilas. Gadis itu sama terkejutnya seperti dirinya, namun seperti melihat peluang emas dimata gadis itu.
Arthur membuka laci nakas, mengambil sesuatu yang nampak seperti lakban bagi Jane.
Arthur memakaikan lakban tersebut dibibir Jane, membuat gadis itu tidak dapat berkata atau sekedar membuka mulutnya. Begitu rapat dan rekat...
Jane sempat menghindar namun Arthur dengan sigap menangkup pipi gadis itu.
"diamlah disini dan jangan membuat kegaduhan"
"aku sudah pernah bilang bukan Jane? Jika aku harus mengurungmu hingga akhir dunia akan ku lakukan, agar kau tetap menjadi milikku" desis pria itu yang sontak membuat tubuh Jane bergidik ngeri.
Jane kembali menitikkan air mata dan menangis sejadi-jadinya setelah Arthur menjauh dan menutup pintu lalu menguncinya, namun suaranya tercekat oleh perekat yang ada dimulutnya.
Berteriakpun jadi tidak lantang, Jane merutuk dirinya sendiri. Mengapa nasibnya bisa semalang ini? Ia hanya menginginkan pengakuan cinta dari pria itu yang tak kunjung ia dapat, hingga akhirnya Jane memutuskan untuk pergi saja dari hidup Arthur.
Tapi malah membuat dirinya terkurung dalam keadaan seperti ini...
***
Sementara itu diluar...
"ada yang bisa kubantu?" tanya Arthur dengan wajah angkuhnya setelah membuka pintu dan mendapati lelaki yang membuat darahnya mendidih.
"perkenalkan namaku J-"
"ya, aku tahu" potong Arthur dengan wajah dinginnya, membuat keramahan John luntur seketika setelah mendengar kalimat ketus itu.
"aku hanya ingin mengembalikan barang-barang Jane" ucapnya masih menatap Arthur dengan datar.
Arthur menerima koper milik Jane, tanpa berbasa-basi atau sekedar berterima kasih pria itu sangat dingin.
"boleh aku bertemu dengan Jane?" tanya John membuat Arthur kembali dibuat emosi.
"dia sedang tidak ada" balasnya dingin.
"tapi aku hanya-"
"bisakah kau pergi? Dan terima kasih sudah mengantarkan barang keponakanku"
Brak!
Arthur membanting pintu tepat diwajah John, lelaki itu hanya menggeleng heran sambil meninggalkan rumah Arthur.
Ada apa dengan pria itu? Batin John.