Bab 2 – Drunk
Suara detuman musik memekak telinga. Sebuah klub malam terkenal di Roma itu menjadi tempat di mana para pengusaha, model, dan artis berkumpul menikmati indahnya hiburan dunia malam. Klub malam yang sering dijumpai banyak orang dari kalangan atas itu kerap menjadi tempat one night stand bagi para pria dan wanita yang bosan dengan pasangan mereka.
Aroma tembakau bercampur dengan anggur mahal serta suara dentingan gelas sloki memenuhi klub malam ini. Terlihat seorang wanita cantik duduk dengan anggun menikmati minumannya di salah satu tempat khusus tamu VIP. Tamu yang siap merogoh kocek tidak sedikit hanya untuk membuka table di tempat khusus para tamu VIP.
“Xander kau menyebalkan!” Audrey menegak vodka di tangannya hingga tandas. Entah sudah berapa kali dia minum vodka itu. Benak Audrey begitu kacau. Xander—sang tunangan terus ingin menunda pernikahan mereka. Terlebih perkataan Xander kemarin sangat menusuk hati Audrey. Kata-kata yang sering sekali Xander ucapkan tapi selalu diabaikan olehnya.
Tampak tatapan semua pria terus tertuju pada Audrey yang duduk sendiran. Gaun panjang berwarna merah, dengan belahan dada yang tinggi membuat Audrey sangat memukau. Penampilan yang menawan. Paras cantik. Rambut pirang terjuntai indah. Audrey bak sosok putri raja yang berada di tengah-tengah klub malam.
“Nona, Anda sudah mabuk. Apa Anda bersama dengan sopir?” Seorang pelayan bertanya dengan sopan pada Audrey.
“Aku tidak mabuk. Kau tidak usah mengurusiku. Aku mampu mengurus diriku sendiri. Sekarang pergilah,” ucap Audrey yang sengaja mengusir pelayan itu. Pun sang pelayan tak berani mengganggu Audrey. Pelayan itu segera pamit undur diri dari hadapan Audrey.
Audrey mengambil ponselnya. Tatapan wanita itu terlalih pada fotonya dengan Xander yang ada di layar ponselnya. Senyuman di wajahnya terlukis. Senyuman yang seperti menertawakan dirinya sendiri. Selama ini dirinya menginginkan Xander. Tapi tidak dengan pria itu. Lagi dan lagi sang tunangan selalu menolak dirinya. Lelah? Jelas iya! Audrey lelah. Namun, meski lelah Audrey tak akan pernah melepas Xander. Pria itu adalah cinta pertama dan Audrey ingin pria itu juga menjadi cinta terakhirnya.
Saat Audrey tengah memerhatikan fotonya dengan Xander; otak Audrey mendorongnya untuk mencari nomor Xander di kontak ponselnya, dan segera menghubungi sang tunangan. Namun, sayangnya tak ada jawaban. Seperti biasa Xander kerap mengabaikannya. Menjawab telepon darinya adalah hal yang tersulit. Sibuk dan sibuk. Itu yang akan selalu dikatakan oleh Xander. Ketika Audrey baru saja ingin menutup panggilan itu, tiba-tiba Audrey mendapatkan jawaban telepon.
“Hallo, Xander?” sapa Audrey setengah mabuk saat panggilan terhubung.
“Audrey, kau di klub malam?” seru Xander dari seberang sana yang tentunya menyadari kalau Audrey berada di klub malam.
“Xander, kau menyebalkan. Kenapa kau selalu saja menunda pernikahan kita?” racau Audrey. Wanita itu sudah berada di dalam pengaruh alkohol.
“Shit, Audrey! Jangan pergi ke mana-mana. Aku akan menjemputmu.” Nada bicara Xander terdengar menggeram emosi kala tahu Audrey berada di klub malam.
Panggilan terputus. Audrey mengangkat bahunya tak acuh kala Xander lebih dulu memutuskan panggilan itu. Xander mau menjemputnya? Mustahil! Di jam seperti ini, tunangannya itu pasti sibuk dengan pekerjaannya. Audrey sudah sangat hafal dengan sifat Xander.
Audrey kembali menegak vodka-nya. Alkohol adalah obat di mana Audrey jauh lebih tenang. Khusus malam ini, Audrey sengaja mendatangi klub malam demi menghilangkan penat di kepalanya.
Malam semakin larut. Susana di klub malam itu semakin meriah. Jika semua orang berpasangan lain halnya dengan Audrey yang duduk di kursi seorang diri tanpa ada siapa pun yang menemaninya. Kosong. Audrey merasakan kekosongan hatinya. Sejak kejadian di pesta ulang tahunnya, Audrey merasa sangat terluka tapi sayangnya Audrey tak bisa mundur. Rasa cintanya begitu kuat pada Xander.
Saat Audrey tengah menikmati minumannya, tiba-tiba tangan Audrey digeret paksa oleh tangan kokoh. Refleks, Audrey mendongakan kepalanya, menatap sang pemilik tangan kokoh itu.
“Xander? It’s that you?” Audrey tersenyum dengan mata sayu menatap Xander lekat.
Xander tak mengindahkan ucapan Audrey. Pria itu langsung menggendong tubuh Audrey layaknya karung beras—dan langsung membawa Audrey meninggalkan klub malam itu.
“Xander! Turunkan aku! Kenapa kau menggendongku seperti ini? Kau membuat kepalaku pusing!” seru Audrey seraya memukul-mukul punggung Xander. Lagi. Xander tak mengindahkan ucapan Audrey. Pria itu terus melangkahkan kakinya meningalkan klub malam itu.
***
Brakkkk
Xander membanting tubuh Audrey di ranjang. Ya, tak ada pilihan lain. Xander terpaksa membawa Audrey ke apartemen pribadinya. Keadaan Audrey yang mabuk berat tak memungkinkan Xander mengantarkan tunangannya itu pulang ke rumah. Xander tak ingin kedua orang tua Audrey salah paham.
“Apa kau itu sudah gila, Audrey!” seru Xander kesal seraya menatap sang tunangan yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang.
Audrey meneteskan air matanya kala Xander membentaknya. Wanita itu terisak cukup keras hingga membuat Xander terdiam. “Apa kurangnya aku, Xander? Kenapa kau selalu menolakku? Apa aku kurang cantik untukmu, hm?” ucapnya dengan air mata yang terus berlinang jatuh membasahi pipinya. Isak tangis wanita itu pilu. Seperti menahan luka yang begitu dalam.
Bungkam. Tak ada yang Xander bisa lakukan selain diam seribu bahasa. Mabuk kerap membuat semua orang meluapkan isi hatinya yang paling dalam. Dan Xander mendengar dengan telinganya sendiri kalau Audrey begitu terluka.
Xander mengembuskan napas berat. Selama ini Xander pernah bisa mencintai Audrey. Pikiran dan hati Xander tak pernah bisa berpusat pada Audrey. Hanya satu yang Xander inginkan yaitu sosok wanita yang telah pergi meninggalkannya. Andai Xander mencintai Audrey maka tidak akan seperti ini.
“Kau selalu memaksakan keinginanmu, Audrey. Sejak dulu kau tahu aku tidak bisa menikah denganmu tapi kau selalu memaksaku,” ucap Xander seraya memejamkan matanya singkat.
“Aku mencintaimu, Xander. Sangat mencintaimu. Aku tidak mau jauh darimu,” isak Audrey pilu.
Xander tak mengindahkan ucapan Audrey. Pria itu hanya menarik selimut, menutupi tubuh Audrey—dan melangkahkan kaki pergi dari kamarnya, meninggalkan Audrey yang masih menangis pilu. Ini bukan pertama kali Audrey mengatakan cinta pada Xander. Tapi sayangnya cinta itu tak akan mungkin bisa terbalaskan oleh Xander.
Ketika Xander baru saja melangkah keluar, tanpa sengaja tatapan Xander melihat sebuah pajangan dengan gambar kuda yang ada di atas meja. Sebuah pajangan pemberian dari sosok wanita yang sangat Xander cintai dan inginkan. Hanya saja sekarang Xander tidak tahu di mana wanita itu berada. Hati Xander sesak kala mengingat tentang wanita itu. Jika saja wanita itu ada di sini; maka Xander akan memperjuangkannya.
‘Aku sangat merindukanmu, Serry,’ batin Xander dengan raut wajah yang menunjukan kerinduan mendalam.
***
-To Be Continued