Bab 8 Memeluk Tubuhnya
William hanya bisa melihat istrinya yang sedang berjongkok seperti anak kecil yang kehilangan induknya melalui CCTV yang terpasang di dalam lift dan terhubung dengan ponselnya.
Sebelumnya, saat William baru selesai mengerjakan beberapa dokumen pekerjaannya. Dia mendapati banyak panggilan yang tak terjawab dari nomor dengan nama F, hanya satu huruf singkat dan itu adalah nomor ponsel Fiona.
William mengabaikan teleponnya, baru saja dia menyimpan ponselnya kembali ke atas meja, seorang pembantu memberitahu bahwa Fiona terjebak di dalam lift.
Sampai beberapa saat pintu lift berhasil dibuka, tetapi Fiona masih berjongkok dengan pikirannya.
William mencoba mendekati Fiona dengan kursi rodanya.
“Apa kau akan terus berjongkok disini?” ucap William, tetapi tidak ada respon darinya.
“Ehmmm...” William berdehem cukup keras, Fiona masih saja tak bergeming.
Dengan ragu-ragu, William menarik beberapa helai rambut Fiona cukup kencang lalu berpura-pura seolah-olah dia tidak melakukannya.
Fiona mendongak dengan mata bulatnya yang berair, seperti kelinci kecil yang malang. Pada saat itu juga, pelukan hangat menyentuh tubuh William yang terkejut dengan Fiona yang berlutut di depannya dan tiba-tiba memeluknya cukup erat seakan dia sedang ketakutan.
Tubuh William menegang, dia merasakan suhu tubuhnya memanas dan pernafasannya terasa berat. Kelinci kecil itu mampu membuat hatinya bergetar, aliran darahnya terasa begitu cepat menjalar di sekujur tubuhnya.
Para pembantu dan penjaga yang masih berada di sana segera membubarkan diri mereka, tidak ingin mengganggu Tuan mereka.
Fiona perlahan tersadar dari pelukannya. Dia merasa malu dan canggung, serta merta melepaskan pelukannya. Wajahnya yang terlihat sedih kini merah seperti buah cherry yang imut, dan tanpa berkata sepatah kata pun, dia segera bangkit berdiri. Tanpa melihat ke arah William, Fiona cepat-cepat meninggalkan lift dan memilih menaiki tangga dengan berlari tergesa-gesa, tidak ingin menaiki lift lagi. William hanya bisa menatap kepergian istrinya.
Di dalam kamar, Fiona segera berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang berkeringat dan bersiap-siap untuk tidur.
Setelah selesai, Fiona merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang sangat besar dan begitu mewah.
Fiona mencoba memejamkan kedua matanya dengan tidur menyamping membelakangi William yang baru saja datang dan naik ke atas ranjang dengan bantuan kedua tangannya.
Ruangan itu begitu hening, Fiona bahkan bisa mendengar detak jantungnya yang terasa cepat, disaat seseorang yang berada di belakangnya seperti mendekat ke arah punggungnya. Bahkan, Fiona sedikit merasakan nafasnya yang terasa dekat.
“William, apa yang kau lakukan?” ucap Fiona tiba-tiba dengan suara yang keras.
William mengerutkan dahinya. “Membaca,” jawabnya singkat.
Kedua mata Fiona terbuka dengan cepat. Dia menoleh ke arah William yang ada di belakangnya, dan benar saja pria itu memang sedang memegang sebuah majalah.
Dengan mengulum bibirnya, Fiona kembali membelakangi William dan bergumam di dalam hatinya. ‘Apa yang sedang kau pikirkan, Fiona? Dia mana mungkin berani mendekatimu.’
****
Pagi hari yang cerah, suasana di gerbang sekolah terlihat lebih tegang. Para siswa berbaris dengan tertib setelah menyimpan kendaraan mereka, sementara beberapa anggota OSIS, termasuk Alvaro, melakukan pemeriksaan pada para murid secara bergilir untuk razia barang-barang terlarang yang dibawa mereka.
Fiona dengan rambut panjangnya yang terurai rapi, berjalan dengan percaya diri, diapit oleh dua sahabatnya, Maya dan Adel.
"Kenapa harus ada razia," keluh Maya, memasang wajah bosan.
"Mereka hanya mencari alasan untuk mengganggu para siswa lain," balas Adel, menggelengkan kepala pelan.
Fiona hanya tersenyum tipis mendengar perkataan kedua temannya dengan mata yang tertuju pada Alvaro. Dia berada tak jauh dari posisi Fiona yang terus melihat ke arahnya, tetapi Alvaro sama sekali tidak berniat untuk melihat ke arah Fiona.
Tiba-tiba seorang gadis berambut sebahu menghalangi pemandangan Fiona yang hendak melangkah mendekati Alvaro.
Fiona menatap gadis yang berdiri di depannya dengan tatapan tenang, tetapi di dalam hatinya merasa kesal.
“Berikan tasmu,” ucapnya dengan nada tegas.
Fiona mendengus. "Untuk apa? Tas ini tidak ada yang perlu kau periksa," jawabnya dingin.
"Kau murid baru itu? Mulai sekarang kamu harus tahu aturan, siswa disini harus diperiksa," balas gadis yang bernama Juwita, tidak mengendurkan sikap tegasnya dan malah memandang Fiona dengan tatapan meremehkan.
Fiona menatap Juwita dengan tajam. "Aku tidak akan memberikan tas ini. Ini privasiku," katanya.
Juwita melipat kedua tangan di depan dada. "Jika kau tidak memberikannya, aku akan melaporkanmu pada guru. Ini bukan soal privasi, ini soal keamanan sekolah."
Maya dan Adel menatap Fiona dengan cemas. Mereka tahu bahwa menentang Juwita bukanlah ide yang baik, mengingat posisinya sebagai wakil OSIS.
“Fiona, dia wakil Alvaro,” bisik Adel.
Fiona yang mendengarnya, dengan enggan menyerahkan tasnya.
Juwita memeriksa isi tas Fiona dengan teliti dan menemukan beberapa alat kecantikan mahal di dalamnya, termasuk lipstik bermerek.
"Ini tidak boleh dibawa ke sekolah. Kau harus tahu aturannya. Sekolah bukan ajang kecantikan,” kata Juwita sambil mengeluarkan alat-alat kecantikan dari tas Fiona.
Fiona menyabet tasnya kembali, wajahnya memerah karena marah. "Itu barang pribadiku! Kau tidak berhak menyitanya!"
"Aku hanya menjalankan tugas. Jika kamu memiliki masalah, kamu bisa bicarakan dengan guru,” ujar Juwita tetap tenang lalu mengambil kembali tas Fiona secara paksa, mengeluarkan kembali beberapa alat-alat kecantikan milik Fiona dan menjatuhkannya ke dalam dus yang di simpan di lantai. Hal itu membuat Fiona kesal.
“Apa kau tahu berapa harga barang yang kamu jatuhkan dengan asal itu? Mengapa menjatuhkannya seperti itu?” tanya Fiona dengan menunjuk dus tersebut.
Dengan nada sinis Juwita berkata, “Kenapa wajahmu terlihat cemas? Kamu bisa membelinya dengan barang yang baru, tidak mungkin orang yang memiliki banyak uang memakai kembali barang yang telah disita.”
Fiona mengepalkan tangannya dengan erat, dia merasa kesal pada gadis di depannya, mungkin dia sudah termakan rumor tentangnya. Ada banyak rumor yang tersebar di sekolah yang mengatakan bahwa Fiona adalah cucu dari keluarga konglomerat.
“Tentu saja, aku akan membeli barang yang baru. Bahkan, aku bisa saja membeli sekolah ini agar aturan seperti ini bisa diubah, karena tidak mungkin barangku terus terkena razia setiap hari, padahal ini bukan senjata api. Belum lagi, sekolah ini seenaknya saja melakukan razia dan mengecek ponsel siswa. Ini benar-benar aturan lama. Di luar negeri, mereka bebas membawa ponsel ke dalam kelas,” jawab Fiona dengan asal, tanpa memikirkan perkataannya terlebih dulu.
Adel dan Maya cukup terkejut dengan keberanian Fiona, sedangkan Juwita tersenyum meremehkan apa yang dikatakan Fiona.
“Oh, ya? Kau habis mimpi apa semalam? Lucu sekali! Kau pikir kau siapa sampai bisa beli sekolah ini? Lebih baik kau fokus belajar saja daripada berangan-angan,” ucap Juwita dengan nada mengejek, namun ada rasa gelisah yang menerpanya.
Bagaimana jika murid baru itu benar-benar membelinya?
Fiona mendengus kesal, sampai percekcokan pun terjadi, dengan Fiona yang bersikeras mempertahankan barang-barang yang masih tersisa di dalam tasnya dan Juwita yang tegas menjalankan peraturan. Akhirnya, Fiona harus menyerah dan menerima kenyataan bahwa alat kecantikan telah disita semuanya, bahkan ada pula yang rusak karena di jatuhkan begitu saja.