Pustaka
Bahasa Indonesia

Ayah untuk Noah

43.0K · Ongoing
Love alone
39
Bab
281
View
9.0
Rating

Ringkasan

Rachel Estella, perempuan cantik berstatus Mama muda ini sedang bingung memilih pasangan sekaligus Ayah untuk anaknya. Ia dibingungkan dengan dua pilihan, antara bosnya sendiri atau mantan kekasihnya yang tak lain adalah Ayah biologis dari anaknya. Lantas, bagaimana keputusan Rachel? Apakah masa lalu tetap menjadi pemenangnya? Ataukah ia memilih untuk melupakan mantan kekasihnya dan memulai kehidupan baru dengan seseorang yang selama ini menemaninya?

RomansaBillionaireDewasaCinta Pada Pandangan PertamaKeluargaPernikahanSweetBaperWanita Cantik

Prolog

“Ma, Pa. Maaf, Rachel hamil.”

“Pergi dari rumah! Papa nggak mau ada aib di keluarga kita.”

“Jangan muncul di depan Mama sama Papa lagi. Mama malu, punya anak kayak kamu.”

“Kalau pengen menghilang dari bumi, bilang ke gue. Nanti gue siapin tali buat bunuh diri.”

***

“Gue bakal tanggung jawab, tapi cukup sampai lo melahirkan aja. Setelah itu, kita harus cerai.”

“T-tapi?”

“Nggak usah banyak mau. Masih mending, gue mau tanggung jawab. Lagian orang tua gue juga nggak bakal mau, punya menantu kotor kayak lo.”

Rachel menundukkan kepala, sembari mengusap air matanya yang sedari tadi mengalir dengan deras.

“Terima kasih. Tapi maaf, tawarannya saya tolak. Saya nggak butuh tanggung jawab dari orang brengsek seperti anda.”

***

“Aku aja yang tanggung jawab. Gimana?”

“Nggak perlu, Za. Aku bisa berdiri sendiri kok.”

“Tapi kamu butuh pasangan, Chel. Punya anak di luar nikah itu nggak mudah.”

“Aku mau gugurin aja.”

***

“Maaf, Mbak. Kita nggak bisa menerima pekerja yang sedang hamil.”

“Saya bisa cuci piring kok, Mas.”

“Nggak bisa, Mbak! Jadi tukang cuci piring itu susah. Apalagi dengan kondisi perut Mbak yang udah besar.”

“Kasih saya kesempatan selama satu bulan, Mas. Saya janji, saya akan berusaha semaksimal mungkin.”

***

“Saya bersedia membayar semua biaya persalinan anda. Tapi setelah itu, anda harus bekerja dengan saya.”

“Apapun itu, akan saya lakuin, Pak. Asalkan anak saya bisa lahir dengan selamat.”

***

Begitulah cuplikan kisah hidup yang ku alami selama ini.

Namaku Rachel Estella. Aku pernah mengalami cobaan hidup yang sangat berat, hingga menjadikanku sebagai manusia paling terpuruk di dunia. Namun itu hanya sementara. Karena setelah anakku terlahir ke dunia, semua kesedihan yang pernah ku alami langsung tergantikan dengan sebuah kebahagiaan yang tiada tara.

Aku memang bukanlah Ibu yang sempurna. Tapi aku selalu berusaha untuk menyempurnakan hidup Putra semata wayangku. Aku tidak menyesal atas kehadirannya di dunia. Dan aku bahagia, dengan takdir hidup yang sedang ku jalani saat ini.

“Bunda sama Papa mau pelgi lagi?”

Aku menatap malaikat kecilku yang sedang duduk di kursi makan. Kemudian aku menghampirinya, dan memberi kecupan singkat di kepalanya, sebelum ikut duduk di sampingnya.

“Nggak boleh sedih gitu dong, mukanya. Bunda kan kerja buat kebutuhan Noah. Katanya Noah pengen mainan baru? Nanti Bunda beliin motor remote kalau pulang kerja. Ya?” ucapku. Berusaha untuk menghiburnya yang sedang terlihat murung saat ini.

Aku tahu, dia selalu keberatan jika ku tinggal pergi bekerja. Karena dia harus kutitipkan di rumah tetangga selama sehari penuh, atau bahkan bisa sampai berhari- hari, lantaran pekerjaan yang menuntutku untuk menjadi orang sesibuk ini.

Beruntungnya, aku memiliki tetangga yang sangat baik. Bahkan dia sudah ku anggap seperti Ibu kandungku sendiri, karena dialah yang membantuku merawat Noah sejak lahir sampai saat ini.

“Noah cape, ditinggal telus. Noah kangen Bunda. Tapi Bunda nggak pelnah ada di lumah. Bunda pulangnya cuma sebental.”

Astaga... bisa- bisa aku menangis, jika melihatnya mengeluh seperti ini. Orang tua mana yang tega, menitipkan anaknya di rumah tetangga sampai berhari- hari. Tapi ini semua ku lakukan juga untuk dirinya, aku tidak mau dia hidup serba kekurangan. Aku ingin masa depannya terjamin, dan hidup bahagia dengan seluruh harta yang ku miliki.

Kemudian aku menangkup wajahnya, sambil menatapnya dengan tatapan yang begitu tulus.

“Noah, dengerin Bunda ya! Bunda janji sama Noah. Tiga tahun lagi, Bunda akan selalu di rumah. Nemenin Noah main, nemenin Noah tidur, nemenin Noah belajar, nganterin Noah sekolah. Ya Sayang ya? Bunda janji. Pegang omongan Bunda,” ucapku dengan sungguh- sungguh.

“Bunda nggak bohong kan? Kalau Bunda bohong, Noah malah sama Bunda.”  

Aku tersenyum. Kemudian aku mengangkat tubuhnya dan ku dudukkan di atas meja makan, dengan posisi menghadap ke arahku.

“Emang Noah bisa marah ke Bunda? Bunda aja nggak bisa marah ke Noah,” ucapku, seraya tersenyum menggodanya.

Karena dia tak kunjung tertawa, akhirnya aku menggelitiki perut dan lehernya, sampai akhirnya dia tertawa juga.

“Bunda, ih. Geli,” rengeknya.

“Cium Bunda,” pintaku.

Kemudian dia langsung menyerangku dengan ciuman bertubi- tubi di pipiku, dahiku, hidungku, dan juga bibirku. Hingga membuatku sampai tertawa cekikikan.

Anakku memang baru berumur lima tahun, tapi pemikirannya sudah sangat dewasa. Terkadang, aku sampai kesulitan sendiri menjawab pertanyaannya yang di luar nalar.

Drrt.

Aku melirik ponselku yang sedang berdering. Ada panggilan masuk dari Bosku. Pasti dia akan menyuruhku untuk segera berangkat, karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih.

“Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku, membuka pembicaraan setelah panggilan tersambung.

“Ada Noah?”

“Ini, lagi makan.”

“Boleh saya ngomong sebentar?”

Akupun langsung mendekatkan ponselku ke mulut Noah. Dan dengan pintarnya, bocah itu langsung menyahutinya.

“Kenapa, Pa?”

“Noah, Papa sama Bunda mau ada kerjaan di Hong Kong. Noah nggak papa kan, kalau ditinggal sama Bunda? Sebentar doang kok, Sayang. Nanti Papa beliin mainan kalau pulang kerja.”

Seperti biasa, Noah tidak akan menanggapi apa- apa jika dipamiti seperti ini. Bocah itu hanya akan diam saja, seolah tidak mendengar apapun.

“Nanti saya coba bujuk pelan- pelan. Bapak tenang aja. Setengah jam lagi, saya akan berangkat ke rumah Bapak,” ucapku.

“Yasudah, kalau begitu. Saya tunggu kehadirannya di rumah.”

Setelah sambungan teleponnya sudah terputus, aku langsung meletakkan ponselku di atas meja kembali. Lalu beranjak ke dapur untuk mencuci piring bekas makan Noah.

Orang yang meneleponku tadi adalah Bosku. Namanya Alan, dia adalah seorang Konsultan bisnis yang sangat sukses, dan sudah memiliki jam terbang yang sangat tinggi. Aku bertemu dengannya sekitar lima tahun yang lalu, ketika aku akan melahirkan Noah ke dunia.

Bisa dibilang, dia adalah orang yang menyelamatkanku dan Noah dari keterpurukan. Karena selain membantuku, dia juga mempekerjakanku sebagai Asisten pribadinya selama empat tahun belakangan ini.

Aku sangat bersyukur, bisa dipertemukan dengan orang sebaik Alan. Meskipun dia selalu bersikap kaku dan judes kepadaku, tapi dia sangat menyayangi Noah. Bahkan dia bersedia untuk dipanggil Papa, dan memperlakukan Noah selayaknya anaknya sendiri.

Seperti yang ku katakan tadi. Karena dia adalah seorang Konsultan bisnis dengan jam terbang yang sangat tinggi, maka jadwal setiap harinya selalu padat. Bahkan dalam satu tahun belakangan ini, terhitung sudah sembilan kali ia bolak- balik ke Luar Negeri. Dan hal itulah, yang membuatku jarang di rumah dan jarang bertemu dengan Noah. Karena aku harus mendampinginya, kemanapun dia pergi.

Namun meski begitu, aku sangat mencintai pekerjaanku. Meskipun sedikit berat, bagi seorang single Mom seperti diriku ini.