Ringkasan
Aku menyadari dari tubuh istriku selalu tercium aroma susu yang samar-samar. Awalnya aku pikir itu karena dia ganti parfum baru. Namun, tidak disangka bahwa itu karena dia diam-diam melahirkan seorang anak tanpa sepengetahuanku. Aku mengajukan perceraian kepada istriku. Namun, dia tidak setuju, menangis dan memohon agar aku tidak meninggalkannya. Aku tertawa dingin dan bertanya kepadanya, "Aroma susu di tubuhmu itu karena kamu punya anak, 'kan? Apa anakmu suka minum susumu?"
Bab 1
Aku pergi ke rumah sakit tempat istriku bekerja. Rekan kerjanya memberi tahuku bahwa dia sedang menjalani operasi dan memintaku untuk menunggu di ruangannya.
Saat pertama memasuki ruangan, aku melihat sekilas stetoskop di atas meja.
Stetoskop itu dipenuhi dengan stiker Barbie.
Bahkan meja dan dindingnya juga memiliki beberapa gambar stiker Barbie yang berbeda.
Istriku selalu menyukai gaya minimalis, ruangan kantornya juga didekorasi dengan serba putih.
Jadi, stiker-stiker ini tampak sangat mencolok dan berbeda dengan kepribadiannya.
Jantungku berdebar kencang, aku merasa sedikit aneh dan seperti ada sesuatu yang tidak beres.
Aku ingat ketika istriku belum dipromosikan menjadi direktur, rumah sakit perlu melakukan rotasi kerja.
Namun, setiap kali gilirannya bertugas di bagian pediatri, dia menjadi sangat cemas dan gelisah.
Ketika aku bertanya mengapa, dia juga hanya tersenyum pahit dan berkata, "Bukan apa-apa, cuma masalah tekanan pekerjaan yang besar."
Namun setelah kami menikah, barulah istriku memberitahuku bahwa dia tidak suka anak-anak.
Dia mengatakan bahwa, baik anak-anak yang dia temui di rumah sakit ataupun dalam kehidupan sehari-hari, dia merasa anak-anak adalah makhluk yang sangat menyebalkan. Terutama ketika dia bekerja di rumah sakit. Dia melihat terlalu banyak perempuan yang menderita saat melahirkan, bahkan banyak perempuan meninggal karena sulit melahirkan.
Dia bilang dia tidak bisa menanggung rasa sakit saat melahirkan, juga tidak bisa memikul tanggung jawab dan kesulitan dalam membesarkan seorang anak.
Itulah mengapa dia membenci anak-anak. Terlebih lagi, dia juga membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan anak-anak.
Jadi, siapa yang meninggalkan stetoskop dan stiker-stiker itu di atas meja kerjanya?
Lalu, kenapa istriku diam saja dan membiarkan orang lain merusak gaya minimalis ruang kerjanya?
Aku tidak bisa memahaminya.
Pada akhirnya, didorong oleh rasa ingin tahu, aku mengambil stetoskop itu dan mencoba menemukan beberapa petunjuk darinya.
Mungkin istriku salah mengambil stetoskop milik rekan kerjanya.
Namun, setelah melihat label di bagian dalam stetoskop, hatiku langsung luluh lantak.
Regina.
Di label itu, tertulis nama istriku.
Di laci mejanya yang setengah terbuka, ada foto seorang gadis kecil yang mengenakan gaun Barbie.
Wajahnya sangat mirip dengan Regina, seolah keduanya berasal dari cetakan yang sama.
Dalam sekejap, aku merasa seperti disambar petir dan seluruh tubuhku membeku di tempat.
Kemarahan yang membara membakar dadaku, membuatku ingin segera menerobos ke ruang operasi dan menanyai Regina tentang identitas anak ini.
Namun saat ini, Regina tiba-tiba kembali.
Aku mengepalkan tangan dengan erat dan berkata pada diriku sendiri bahwa aku harus tetap tenang.
Tanpa menunjukkan gelagat mencurigakan, aku meletakkan stetoskop dan menutup laci mejanya kembali.
Ketika Regina melihatku, sebuah senyuman langsung muncul di wajahnya. Dia dengan hangat melingkarkan tangannya di pinggangku. "Sayang, apa kamu merindukanku?"