Bab 3 Menjalankan Misi
Aku sudah berada di hotel dengan pakaian seksi, gaun dengan panjang sepaha. Aku tak membawa senjata apapun untuk bisa masuk ke hotel.
Tujuanku hanya satu, tahu di mana file itu berada, setelah itu menghabisi Roger dan selesai. Hari ini aku menyamar menjadi wanita panggilan. Huh…sebel, kenapa selalu wanita panggilan? Mungkin karena aku begitu menggoda sampai hampir tiap misiku selalu seperti ini.
Roger berada di kamar 311. Aku sudah berada di ruang resepsionis saat dua orang berpakaian hitam langsung menyambutku. Mereka ini adalah anak buah dari Roger.
“Red?” tanya salah seorang dari mereka.
Dengan sedikit bergaya binal aku mengangguk. Mereka saling berpandangan dan tersenyum.
“Ayo ikut!” kata salah satu dari mereka.
Aku kemudian dibawa ke lantai 311. Aku memakai codec yang aku pasang di telinga. Agar bisa berkomunikasi dengan Suni. Dia adalah bertugas melindungiku. Dan juga sebagai penjemput.
“Moon, kenapa kamu tidak mau jalan denganku?” tanya Suni.
Lagi-lagi dia bertanya soal itu. “Ayolah, kamukan masih sendiri, belum ada siapa-siapa yang bakal sewot kalau aku jalan denganmu. Kalau kamu mau garuk-garuklah kepala, kalau tidak garuklah lenganmu.”
Aku menggaruk lenganku. Dia melihatku dari jauh dengan sniper riflenya dari gedung seberang.
“Ayolah, Moon!” aku tahu Suni kesal. Aku sebenarnya lebih kesal. Hampir selalu digoda oleh dia. Sebenarnya entah kenapa aku tidak mau. Mungkin karena aku terlalu takut untuk menjalin hubungan dengan pekerjaan seperti ini.
Setelah berada di depn kamar 311 kedua orang itu meremas pantatku. Sialan. Pengen kutonjok saja mereka.
“Masuk saja, si boss menunggu,” kata mereka. Kemudian mereka meninggalkanku.
Aku berbisik kepada Suni, “Bisa nggak, kita bicarakan ini setelah pekerjaan?”
“Hhhhh…,” aku menggeram.
“Habis misi ini? Bagaimana? Ayolah, dari dulu kau selalu menolak, sekali-kali mau dong,” katanya.
“Fine, setelah misi,” kataku.
“Kalian bisa bicarakan kencan kalian lain waktu?” celetuk seseorang di frekuensi kami. Operator An Li.
“Sorry, frekuensi dikembalikan seperti semula,” kata Suni.
“Baiklah, Moon. Bergerak!” kata An Li.
Aku segera membuka pintu kamar 311. Di dalamnya ada seorang berpawakan kaukasia. Badannya tegap, dia memakai kimono. Dia cukup tinggi. Aku bisa melihat otot kekarnya di lengan. Mungkin dengan sekali pukul orang bisa KO. Well, paling tidak aku akan mencoba cara yang lebih lembut.
“Oh…masuk, siapa nama kamu? Moon? Kamu memang secantik rembulan,” kata Roger.
Aku menutup pintu.
“Dia sudah masuk,” kata Suni di codec.
Aku kemudian berjalan dengan langkah menggoda. Sambil kuarahkan pandanganku menyapu seluruh ruangan, mengingat-ingat semua benda yang ada di kamar ini. Ruangan yang cukup luas. Ada sebuah lemari baju, apakah file itu di sana? Tidak, terlalu mudah. Di bawah tempat tidur? Itu juga terlalu mudah. Aku juga melihat sebuah pistol Nighthawk Desert Eagle berwarna perak berada di meja dekat ranjang. Hingga aku melihat sebuah koper kecil. Apakah itu? Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.
Aku kemudian mendekat ke arah koper itu sambil berjoget erotis. Tak perlu ditanya kapan aku belajar. Yang jelas aku sudah memakai cara seperti ini cukup lama. Roger sepertinya suka sekali, bahkan sekarang ia bangkit dari tempat tidurnya menuju ke arahku. Aku kemudian mulai menyentuh koper itu sambil merangkak. Tangan Roger langsung menampikku. Ia menarikku dan memeluk tubuhku. Aku diciumnya, bibirku dihisapnya.
Aku bisa merasakan sesuatu benda yang sangat panjang mengeras di bawah sana. Baiklah, dia sudah horni. Dari sikapnya jelas sekali koper itu sangat penting. Ia menciumku sambil meremas pantatku. Vaginaku digesek-gesek oleh tonjolan di kimononya. Ciumannya bergeser ke leher, dihisapnya leherku. Kemudian aku ditarik olehnya. Aku kemudian dilempar ke atas ranjang. Aku cuma tertawa melihat tingkahnya.
“Aku tak tahu kalau kamu begitu menggairahkan sayang,” pujinya.
“Kenapa kamu tadi melarangku menyentuh koper itu?” tanyaku.
“Sebab isinya terlalu berharga sayang, itu sebabnya aku tak mau kamu mengotorinya,” ujarnya.
Kimono Roger sudah dilepas. Kini ia telanjang.
“Ok, kita sudah dikonfirmasi. Benda itu ada di koper. Moon, habisi dia!” kata An Li.
Aku tersenyum, kemudian kuarahkan kakiku melingkar ke lehernya seolah-olah memberikan vaginaku ke mulutnya, namun dengan cepat kutarik sebuah kawat di kuku jempolku. Kawat itu tipis namun sanggup memotong apapun. Aku lingkarkan ke batang penis Roger dan dengan cepat seperti ular aku melompat dan berada di pundaknya, mengunci lehernya. Ia lalu ambruk terlentang dengan aku mengunci leher dan menjerat penisnya.
“FUCK!” umpatnya.
“Kamu ingin penismu utuh atau nyawamu?” ancamku.
“Oh Moon, habisi saja langsung jangan dianggap terlalu personal!” kata An Li di radio.
“Biarkan dia An Li, orang itu perlu diberi pelajaran,” balas Suni.
“Kau tak akan keluar hidup-hidup dari tempat ini!” kata Roger.
“Kepada siapa kau akan jual file itu?” tanyaku.
“Bukan urusanmu,” jawab Roger.
“Baiklah, kau ingin kehilangan masa depanmu ternyata,” kataku. Aku sedikit menarik kawat itu dengan kedua tanganku.
“Tt…tu..tttunggu dulu!” katanya.
“Katakan!” ancamku.
“L..Lucifer…kepada Lucifer,” katanya.
“Siapa dia?”
“Aku tak tahu. Dia mengaku namanya Lucifer. Dia membayarku mahal untuk mendapatkan file itu.”
“OK Moon, ini baru. Coba korek lagi!” kata An Li.
“Hei, bukankah misinya agar menghabisi Roger?” kata Suni.
“Tapi setidaknya ini juga penting,” ujar An Li.
“Di mana dia sekarang?” tanyaku.
“Kamu tidak bisa mencarinya, dia yang akan mencarimu. Kamu kira dia tidak melihatmu sekarang? Hahahahahaha.”
Aku melirik ke seluruh ruangan. Tak ada yang mencurigakan, tak ada kamera pengintai…oh tunggu, kecuali….
“Benar, kamu baru mengetahuinya sekarang. Kegagalan tidak bisa diterima oleh Lucifer. Dia benar-benar akan mengambil file itu dan memastikannya selamat sampai di tangannya. Aku hanya sebagai perantara saja. Sudah kubilang, dia tidak bisa dicari tapi dia akan mencarimu,” kata Roger.
Keparat. Aku menarik kawat itu. SCRAAATT! CUUURRR! Darah langsung mengucur deras dari selakangannya. Roger menjerit kerass. Kemudian dengan memutar tubuhku kupatahkah lehernya. CRAK! Suara patahnya leher Roger, terdengar. Aku kemudian memeriksa denyut nadinya. Dia sudah mati.
“Brace yourself, dua bandit akan masuk ke kamar!” kata Suni.
“Kau bisa membersihkannya?” tanyaku.
“Tidak bisa, aku terhalang!” kata Suni.
AKu kemudian mengambil pistol yang ada di atas meja. Begitu dua orang anak buah Roger masuk aku langsung menembak keduanya tanpa mereka siap sama sekali. Dua tembakan tepat mengenai kepala mereka. Semuanya terkapar. Aku memeriksa magazinenya. Cuma ada lima peluru lagi. Aku kemudian melangkah mengambil koper yang ada di atas meja.
“701”, jawab Suni.
Kubuka koper itu. Di dalamnya ada berkas-berkas. Tampak lambang negara Korea ada di sana. Tak salah lagi ini adalah file yang dimaksud. Aku tutup lagi koper itu.
“Suni, penjemputan!” kataku.
“OK! kamu berjalan saja lurus kemudian lompat dari lantai itu,” kata Suni.
Dengan percaya diri aku keluar dari kamar 311. Dari luar ternyata sudah ada beberapa orang yang menghadangku dengan senapan uzi. Mereka memberondongiku dengan peluru. Aku menghindar dan berlindung di balik tembok. Setelah mereka tenang dan tidak menembak aku kemudian keluar.
Orang-orang itu aku balas dengan tembakan. Satu, dua, tiga, empat, lima. Peluruku habis. Kubuang senjataku. Lima orang terkapar di lantai. Aku masih berjalan dengan tenang. Kuambil senapan uzi yang tergeletak di atas mayat anak buah Roger. Ada orang datang lagi, langsung aku berondong dengan uzi. Dia terpental ke belakang.
Ku tembak kaca yang ada di hadapanku. Sebuah pesawat helikopter tiba-tiba sudah berada di luar sana.
Aku bisa melihat Suni sedang membidik dan membersihkan jalan untukku. Aku lalu berlari secepatnya dan melompat ke helikopter itu. Aku seperti membelah angin. Kubisa merasakan bagaimana adrenalin memacu jantungku. Tanganku digapai oleh Suni. Aku sedikit hilang keseimbangan tapi aku sudah berada di dalam heli.
“Si Rambut Merah sudah ada di tangan, paket terselamatkan. Kita pergi,” kata An Li.