Ringkasan
Menjadi anak seorang pembunuh membuat Mentari selalu diolok-olok oleh orang lain terutama ayah dan saudara angkatnya. Mereka selalu menganggapnya seolah tak ada. Hanya mama angkat yang menyayanginya. Namun, kejadian naas menghampirinya. Mentari tidak menyangka kalau ia dan Langit harus menikah. Dan kehidupan neraka pun semakin menjadi-jadi. Langit selalu menyiksa sosok mentari yang selalu ia panggil gadis pembawa sial.
Bab 1
"Haha! Anak haram sama pembunuh kayak lo ini pantes diginiin." Menumpahkan segelas susu ke rambut Mentari.
Mentari hanya bisa diam. Air matanya tak kuasa terus ia tahan. Seharian ini, pasti hanya nerakalah yang akan ia hadapi. Pria tampan yang menatapnya tajam dan membuat penampilannya itu pasti tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Kesempatan dimana Mama angkatnya, Karina pergi. Hanya ada mereka berdua di rumah ini.
Langit menatap Mentari penuh kebencian. Rasa kebencian sudah tertanam di hatinya sejak kecil. Bukan hanya ia saja yang membenci wanita berkacamata tebal itu. Namun, Papanya juga. Hanya Mamanya saja yang sayang kepada gadis sialan itu.
"Nih! Ambil roti bekas gue!" Melemparkan setengah roti berselai coklat bekasnya tepat di hadapan Mentari yang duduk bersimpuh di lantai.
Mentari hanya menatap nanar roti itu. Apakah selama ini hidupnya akan seperti ini? Selalu mendapat kebencian dan perlakuan hina seperti ini. Dirinya seolah tidak dianggap sebagai manusia. Melainkan lebih parah dari yang namanya binatang.
Jika saja tabungannya itu sudah cukup untuk membiayai hidupnya ini. Mentari pasti akan meninggalkan rumah yang seperti neraka ini. Walau hatinya juga sedikit berat harus meninggalkan Mama Karina. Wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kandungnya. Wanita itu saja yang benar-benar menyayanginya.
"Kenapa bengong? Cepat dimakan!" ketus Langit.
Mau tak mau, Mentari pun langsung memungut roti itu. Setelah itu langsung memakannya dengan gerakan cepat. Jika tidak, ia sangat yakin pria di depannya itu akan semakin menyiksanya.
Melihat Mentari yang begitu patuh kepadanya seperti biasa. Langit tersenyum puas. Rasanya sangat menyenangkan melihat gadis bernama Mentari itu menderita. Jahat memang. Namun, semua itu tidak sebanding dengan ia dan kedua orang tuanya itu yang harus kehilangan sang kakak.
Keysan Langit Pratama atau yang sering dipanggil Langit itu tidak pernah bisa menerima kenyataan kalau kakak kembarnya Keyna Arumi Pratama harus meninggal karena dibunuh oleh Adam, yang notabenya adalah Papa kandung dari gadis malang bernama Amanda Mentari.
Langit sangat ingat kalau waktu itu ia dan sang kakak yang baru berumur enam tahun berencana ingin ke danau. Naas, Arumi diculik dan beberapa hari kemudian ditemukan meninggal dunia dengan tubuh dan wajah yang sudah tidak dapat dikenalinya. Hanya baju dan boneka kecil yang menjadi penanda bahwa itu Arumi. Sialnya, Mentari yang baru kehilangan Ibunya malah harus tinggal dengannya.
Mentari mengusap-ngusap rambutnya yang basah dengan sapu tangan berwarna pink pemberian Karina lima belas tahun silam. Sapu tangan itu selalu ia bawa kemanapun dan digunakan untuk melap hal-hal seperti ini. Tidak di rumah, di kampus. Selalu saja, tubuhnya ini menjadi basah.
"Aku ingin ke rumah Prince." Tiba-tiba saja Langit beranjak dari duduknya.
Tanpa sadar, Mentari tersenyum mendengar semuanya. Jika Langit pergi, setidaknya ia bisa istirahat dan mengerjakan tugas kuliahnya setelah beres-beres rumah nanti.
Langit melirik ke arah Mentari yang sepertinya senang. "Cih! Tidak akan kubiarkan dia tenang," batin Langit.
"Cepat siap-siap. Sepuluh menit dari sekarang!" titahnya.
Seketika mata Mentari terlonjak kaget. Ia langsung menegadahkan wajahnya untuk meminta penjelasan dari perkataan yang dilontarkan oleh pria beralis tebal itu barusan.
"Lo ikut gue. Di sana, gue butuh pelayan." Tersenyum remeh.
Mentari hanya bisa tersenyum kecut. Ternyata pria itu memang tidak akan menyia-nyiakan hari yang akan terasa panjang ini untuk menyiksanya.
Sudahlah. Mungkin semua ini memang takdinya. Ia pun akhirnya mulai bangkit.
"Cepat Sialan!!" maki Langit keras.
Tentu saja Mentari kaget. Memang bukan sekali dua kali, pria tampan itu selalu memakinya. Namun, tetap saja. Mau berapa kalipun Langit memaki dan berkata kasar pasti ia akan kaget.
Ia pun langsung berlari terbirit-birit menaiki anak tangga yang sangat panjang itu.
"Aw," ringis Mentari tatkala punggung kakinya menyandung anak tangga.
Langit yang sedari memperhatikan itu tersenyum senang. Ya, dia senang kalau Mentari menangis atau menderita.
"Gadis yang malang," ejeknya.
Tak sampai sepuluh menit. Mentari sudah terlihat menuruni anak tangga. Nafasnya terlihat tersenggal-senggal.
"Cih! Lama banget lho! Kayak Tuan putri aja harus ditunggu segala."
Ha? Mentari mengerjap-ngerjapkan matanya. Jika saja dirinya memiliki sedikit keberanian. Ia pasti akan melawan perkataan Langit. Sayang, dirinya tidak berdaya. Kalau dilawan, yang ada penyiksaan demi penyiksaan akan didapatnya dari pria itu.
Langit memperhatikan penampilan Mentari dari atas sampai bawah. "Benar-benar udik!" hinanya.
Langit pun berbalik arah dan mulai melangkah. Sedangkan Mentari menghela nafas dan menatap sendu punggung pria tampan itu. Jika ditanya, apakah ia membenci sosok Langit. Jawabannya adalah tidak. Semengerikan apapun perlakuan seorang Langit kepadanya. Tetap saja Mentari tidak bisa menumbuhkan rasa benci di hatinya.
***
"Hay Guys!" sapa Langit kepada ketiga sahabatnya yang terlihat asyik mengobrol satu sama lain.
"Hey Bro! Ternyata lo datang juga. Gue pikir lo nggak datang tuh." Pria bermata coklat itu tersenyum tipis. Ia adalah Aaron.
Langit langsung duduk bergabung dengan ketiganya. Matanya melirik ke arah pria yang tengah mengenakan kaos putih menyatu dengan warna kulit. Pria itu adalah Prince William. Sepupunya sekaligus sahabatnya.
Papa Prince yang tak lain adalah Louis adalah kakak kandung dari Mamanya, Karina. Sepupunya itu juga memiliki saudari kembar sepertinya. Prince lebih beruntung karena saudari kembarnya masih ada sampai sekarang. Tidak seperti dirinya. Memikirkannya membuat Langit kesal dan sedih secara bersamaan.
"Prince, Tante sama Om ke mana? Kok nggak kelihatan? Bukannya ntar malem acara ultah lo ya?" tanya Langit celingak-celinguk dengan keadaan rumah sepupunya yang terlihat tidak ada orang lain lagi selain mereka saja.
"Kayak nggak tau orang tua gue aja. Mereka semua ada di halaman belakang mempersiapkan semua kebutuhan yang rasa gue nggak dibutuhin," sahutnya.
"Oh. Ternyata begitu." Langit manggut-manggut paham. Ia sangat tahu kalau sepupunya itu sebenarnya tidak suka dengan yang namanya pesta. Alasannnya simpel. Seorang Prince Dwy William sangat tidak suka bertemu dengan orang banyak dan suasana gaduh. Pria berambut hitam pekat dan memiliki kulit seputih susu persis sang Papa hanya menyukai suasana hening dan jauh dari kata ramai.
"Eh, btw. Lo datang sendiri?" tanya Mike yang baru bersuara.
"Nggak dong."
"Jangan bilang_" Mike menghentikan ucapannya tatkala mendengar suara seseorang terjatuh.
Keempat pria tampan yang duduk di Sofa itu langsung melihat ke sumber suara. Mereka begitu kaget melihat keadaan Mentari yang mengenaskan. Rambut acak-acakkan, peluh keringat dimana-dimana dan terakhir gadis itu harus membawa begitu banyak barang bawaan. Pantas saja sampai terjatuh. Apa yang dibawa gadis cantik yang berpenampilan culun itu sangat tidak sepadan dengan tubuhnya yang mungil.
Prince yang melihat semua itu langsung bangkit dan berjalan menuju Mentari yang begitu kesulitan.
"Prince!" kata Aaron dan Mike secara serentak. Mereka tahu kalau bakal ada yang marah atas tindakan sok pahlawannya itu.
Keduanya langsung melirik ke arah Langit yang tengah mengepalkan tangan. Benarkan, Langit pasti akan marah karena hal ini.
"Sini, biar aku bantu," kata Prince.
"Ah, tidak usah," jawab Mentari lirih. Ia tengah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa ini. Entah suda berapa kali banyaknya hari ini ia tersandung. Kalau dihitung-hitung mungkin sudah sebanyak sepuluh kali. Satu kali di tangga, delapan kali di Mall tadi dan satu kali di sini. Mentari sangat yakin kalau kakinya saat ini tidak akan bisa dibawa untuk melangkah lagi.
Bisa ia lihat tadi kalau kakinya itu sudah membiru. Bisa sampai ke sini dari mobil saja, ia sangat bersyukur.
"Biar aku yang membawanya," kata Prince cepat.
"Tidak usah. Biar saya saja," tolak Mentari cepat. Bukannya ia tidak mau menerima pertolongan pria berkulit seputih susu itu. Pria yang selalu membantunya diam-diam di belakang Langit. Untuk kali ini, Mentari tidak ingin Prince membantunya. Sebab, Langit pasti akan marah.
Dengan sekuat tenaga, Mentari pun akhirnya berdiri sambil menenteng semua belanjaan. Baru saja ingin melangkah, tiba-tiba saja tubuhnya hampir terjatuh.
Prince dengan sigap menolongnya. Wajah keduanya saling berdekatan. Tak lama kemudian, Prince tersenyum. Dari awal, ia memang mempunyai rasa dengan Mentari.
"Ayo pulang!" Langit menarik paksa tubuh Mentari. Pria itu tak mempedulikan Mentari yang mengaduh kesakitan karena harus dipaksa berjalan sedangkan kakinya bengkak.
"Langit!" Prince berteriak. Ia berniat ingin mengejar. Namun, langkahnya dihadang oleh Aaron dan Mike.
"Jangan dikejar, Prince," kata Aaron.
"Tapi, dia menarik paksa Mentari seperti itu."
Aaron menggangguk paham. "Kita jangan ikut campur dengan masalah mereka. Gue tahu lo itu sepupunya. Namun, dengan lo ngejer mereka. Mentari akan semakin disiksa oleh Langit."
"Apa yang dikatakan Aaron benar, Prince." Mike berujar pelan.
Prince menghembuskan nafas kasar. "Maafkan aku yang belum bisa melepaskanmu dari sepupu kejamku itu, Mentari." Prince berujar dalam hati.