Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Perjodohan?

"Paling nanti gagal lagi, Jelek."

Celotehan lelaki dengan tinggi 170 cm dengan kulit putih itu cukup menghiburku, aku tertawa di dalam tangisku. Memang ini bukan kali pertama aku bercerita tentang perjodohan dengan Arya, hingga lelaki tampan itu mulai paham dan mengerti tentang problem yang tengah kurasakan sekarang.

"Sudah ah, jangan cengeng, yuk jalan!"

Arya menarik tanganku, membawaku berjalan memasuki mobilnya, namun aku tidak ingin kemana-mana sekang, karena keadaanku dalam kondisi mood yang kurang baik.

"Aku ingin pulang," tolak ku lembut sembari melepaskan tanganku dari tangan Arya.

"Tapi jam kerja masih sejam lagi," ucap Arya sembari melihat arlojinya.

"Aku hanya ingin pulang."

"Sini, biar aku antar!"

Arya menggenggam tanganku kembali dan berniat mengantarkan aku pulang ke rumah, tapi aku tidak ingin ia mengantarku karena aku tidak ingin mengajak lelaki yang bukan calon suami ke rumahku. Prinsip ini adalah harga mati dan sudah kupegang erat sejak lama.

Bagiku Arya seperti seorang sahabat, teman dan malaikat yang mengayomi ku. Bahkan, walaupun usianya terbilang lebih muda dariku, tapi kedewasaan sikapnya membuatku merasa sangat nyaman untuk sekedar bercerita dengannya.

Arya memiliki energi luar biasa yang membuat wanita sepertiku seperti terhipnotis, ia seperti magnet yang membuatku lengket dan bergantung kepadanya, bahkan hanya dengan menatap wajahnya saja hatiku sudah merasa teramat sangat bahagia.

"Aku pulang sendiri saja."

Dengan gerakan sigap, aku melepaskan genggaman tangan Arya. Namun, lelaki itu tidak akan diam saja, ia pasti mengikuti langkah kakiku. Jadi, aku memilih mempercepat langkah dua kali lipat darinya, berlari ke parkiran dan langsung mengendarai sepeda motorku dengan kecepatan 60 km/jam. Ya, walaupun aku harus bolos beberapa menit dari jam kerja, bahkan meninggalkan tas kerjaku, setidaknya saat ini aku ingin menghindari Arya. Selain itu agar mama Anita tidak terus-terusan meneleponku.

"Nia, tunggu!" Teriakan Arya tidak ku hiraukan, karena aku harus cepat sampai di rumah agar kedua orang tuaku tidak khawatir.

"Nanti aku telepon," ucap Arya lagi.

Aku terus melajukan kendaraanku hingga dalam tiga puluh menit sampailah aku di depan rumahku.

Ku parkirkan motor matic kesayanganku, membuka helm berwarna merah muda yang selalu menemaniku, sebelum akhirnya berlari menuju kamar. High hells yang ku kenakan tidak menghalangi langkahku untuk terus melangkah, karena baju dinas yang ku kenakan terasa sangat gerah. Aku ingin segera mandi dan bersemedi di kamar untuk menghindari perbincangan dengan mama. Tapi, mama tidak akan tinggal diam, dengan berbagai cara beliau akan mencari cara untuk mengobrol denganku.

Tok ..., Tok ..., Tok ....

Sesuai dugaanku, dalam sepuluh menit terdengar olehku mama mengetuk pintu kamarku, tapi kali ini aku bersikap tidak peduli.

Aku segera membaringkan tubuhku di ranjang, menutup seluruh tubuhku dengan selimut dan pura-pura memejamkan mata seolah tidak mendengar panggilan dari orang tuaku.

Untuk saat ini aku tidak ingin bertemu dengan siapapun termasuk keluargaku, aku hanya ingin mengurung diriku di kamar dengan membawa sejuta kesedihan bersamaku.

'Maafkan Nia, Mama.'

Ada rasa bersalah di dalam hati ini karena telah mengabaikan orang tuaku. Namun, ini adalah salah satu bentuk penolakan secara tidak langsung atas ketidaksukaan ku atas perjodohan orang tuaku.

"Kania, Mama tahu kamu belum tidur, Nak, apa kamu bisa keluar? Mama dan Papa ingin berbicara," ucap mama lembut namun terdengar sangat tegas sekali.

Bagaimanapun aku adalah seorang anak dan aku tidak ingin menjadi anak durhaka yang tidak patuh kepada orang tua. Tapi keegoisan membuatku menjadi tinggi hati, aku mengurung diri di kamar tanpa menghiraukan panggilan orang tuaku.

Sejam berlalu, mama Anita akhirnya masuk ke kamarku dengan rasa kecewa yang ia bawa bersamanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel